SMK Negeri 1 Tambusai

Tuanku Tambusai “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan)

Tuanku Tambusai
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu-dalu merupakan salah satu desa 
pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan. Tuanku Tambusai memiliki nama kecil 
Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji, dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. 
Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam Keturunan Mandailing bermarga Harahap.
Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat.
Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, 
suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri,
termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Disana ia banyak 
belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu
memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat diterima
luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut.
Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan 
perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, 
Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga 
diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta 
bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah
jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. 
Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan 
Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda ia digelari “De Padrische Tijger van Rokan” 
(Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. 
Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, 
benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan 
sekutu-sekutunya. Ia mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 12 November 1882.
Karena jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia Belanda, pada tahun 1995 pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional
 
sumber :https://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Tambusai
Terkait